Lambaian tangan kecil dari seorang Diana tak dihiraukan sama
sekali oleh ayahnya. Diana tak mengerti, kenapa ayahnya pergi begitu saja tanpa
mencium atau sekedar memeluknya. Berhari-hari, Diana menunggu kepulangan
ayahnya. Duduk, sekali-kali bermain pasir, atau sekedar manjat pagar. Diana
jarang bergaul dengan teman sebayanya. Setiap pagi setelah bangun tidur, dia
duduk diteras rumahnya sambil menunggu ayahnya pulang. Hingga suatu ketika,
nenek dan kakek Diana datang menjemputnya. Membawa semua barang Diana,
begitupun ibu dan adiknya.
Diana kini tinggal bersama nenek dan kakeknya. Diana masih
belum mengerti kenapa ayahnya tidak tinggal bersamanya. Kehangatan keluarga
yang dirasakan Diana, berasal dari kasih sayang nenek dan kakeknya. Ibu Diana
melanjutkan kuliah disalah satu universitas swasta, sedangkan adiknya tumbuh
menjadi bocah lelaki yang sangat nakal. Kesibukan masing-masing membuat Diana
merasa sepi, hanya jika Diana tidak mempunyai teman sekolah, apalah arti hidup
baginya. Mungkin saja dia akan mengalami stress dimasa kecil, beruntung Diana
adalah anak yang mudah bergaul dengan siapa saja. Bagi orang lain yang melihat
Diana, mereka beranggapan bahwa Diana tumbuh besar dengan baik walau tanpa
kasih sayang dari ayahnya. Ya, anggapan itu benar adanya. Diana tumbuh menjadi
periang, mudah bergaul, dan disenangi banyak orang. Hingga akhirnya Diana harus
pergi meninggalkan kotanya dan melanjutkan pendidikan di sebuah pondok pesantren
di pulau seberang.
3 tahun Diana menjalani sekolahnya. Ada satu hal yang
membuat Diana sangat terpuruk ketika berada dipesantren. Awal dia bersekolah,
tiba-tiba ada panggilan telepon dari keluarganya, dan tak lain adalah Silvana,
ibu Diana. Silvana akhirnya menikah dengan seorang bujang. Diana tak mengetahui
sosok bujang yang telah berani menikahi ibunya, “berani sekali dia tak
memperkenalkan dirinya ke saya terlebih dahulu”, ucap Diana lewat telepon. Diana
tak berkata apa-apa setelahnya, hanya air mata yang terus mengalir tanpa henti.
Dia tak tahu air mata tersebut adalah air mata bahagia atau kesedihan. Dia
hanya menangis semalaman. Teman-teman kamarnya hanya bisa sekedar menghibur
dengan candaan tawa tanpa tahu masalah yang dihadapi Diana.
Bersekolah di sebuah pondok pesantren bukanlah hal yang
mudah bagi anak-anak sebaya Diana. Dia terkadang memikirkan asiknya bersekolah
disekolah umum, bergabung dengan kaum adam. Terkadang juga dia memikirkan nasib
teman SD nya dulu, mungkin saja mereka sudah mulai berpacar-pacaran. Itulah hal
yang dipikirkan Diana remaja, ingin mengenal sosok laki-laki yang mungkin saja
bisa mengisi hatinya. Maklum, Diana sejak kecil tidak pernah merasakan kasih sayang dari seorang ayah (baca laki-laki) dan ia juga tidak sepenuhnya mengenal sosok ayah dalam
kehidupannya. Bahkan ayah tiri yang sekarang tinggal bersamanya, baginya hanyalah sebuah pelengkap keluarga,
bukan menambah kehangatan dalam keluarga.
Tiba waktunya Diana remaja beranjak dibangku SMA, Diana tak
ingin lagi melanjutkan sekolah dipesantren. Dan ibu Diana menyetujui hal itu.
Dia pun bersekolah di sekolah umum. Tahun pertama sekolah merupakan tahun
cobaan baginya. Kakek dan neneknya bercerai di umur pernikahan ke 30 tahun, perselingkuhan satu-satunya alasan
perceraian mereka. Diana berharap dengan kembalinya dia ke keluarga dapat
mempererat kekeluargaan, walau tanpa sosok ayah. Namun harapan itu sirna, dan hanya memperburuk
keadaan psikologis Diana. Dia mulai melepaskan hijabnya sejak masuk di SMA, mengenal cara berpacaran, bergaul
bebas, dan Diana yang sekarang adalah sosok Silvana yang terulang kembali.